Posts Tagged ‘ Event ’

Nova Carmina : [New Song]

Kuncup pertama mekar

Embun mengering

Tangis pertama bayi

Nafas terakhir manusia

Kata pertama

Permintaan terakhir

Ciuman pertama

Ciuman perpisahan

Langkah pertama balita

Denyut terakhir nadi

Cinta pertama

Cinta terakhir

Selamat Datang

Selamat Jalan

[Bermantralah]

Waspadalah hai kau tua-tua

Kami jiwa yang muda

Yang punya bara dalam diri

Terbakarlah kau tua-tua

Kami jiwa yang muda

Yang punya mimpi

Yang tersembunyi dalam sunyi

Tergelincirlah kau tua-tua

Dalam kesombongan dan kekuasaanmu

Kami jiwa yang muda

Sedang menggalang asa

Putaran roda

Siklus

Sesuatu dimulai

Sesuatu berakhir

Hari ini rumputmu segar, esok mengering

Suatu siang terlewati seakan tak pernah terjadi

Waktu berjalan dengan diam-diam, hingga tak kau dengar ketuk hak sepatunya

Waktu tak pernah menunggu, hingga sering kau tertinggal olehnya

Dan terbuang sudah hartamu satu-satunya

Waktu dan Kesempatan

Dan setiap kali kau hanya merasa kecurian

[Bermantralah]

Waspadalah hai kau tua-tua

Yang kering

Yang mendengki

Jaman telah berganti

Waktu telah bergeser

Kami jiwa yang muda

Yang segar

Yang bersemi

Yang akan mewarisi bumi

Saatnya telah tiba untuk berkata

Tahun telah jadi baru

Dan kau menjalani perjalanan yang merugi; jika kau tak bermekar dan bersemi

Drama Sepakbola

[pict.source : http://www.cksinfo.com]

Malam hari, 26 Desember 2010, adalah sebuah anti klimaks. Ego jatuh, kesombongan runtuh. Inilah saatnya kita berhadapan pada realita. Selama berminggu-minggu betapa kita buta, oleh euforia. Karena jaring laba-laba media dan komersialitas yang membungkus indra kita, melumpuhkan logika. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal itu. Asal dosisnya cukup. Namun sayangnya, ternyata kita telah mabuk dan overdosis rasa kemenangan dan prestasi [yang bahkan belum pasti dan teruji].

Adalah saya berbicara mengenai penyelenggaraan piala AFF [Asean Football Federation] 2010. Semua berawal dari performa timnas Indonesia yang secara mengejutkan menjadi begitu digdaya. Seperti sulap saja, batin saya kala itu. Semua lawan dilibas habis pada babak penyisihan, dengan skor yang tidak main-main pula. Dan ketika itulah, seiring meningkatnya popularitas timnas, maka meningkat pula aliran dukungan bagi mereka. Prestasi dan popularitas timnas memang sangat menggiurkan bagi kelompok, golongan dan orang-orang dengan mental pendompleng, untuk ikut tenar dan ikut mencicipi anggur manis hasil perasan dan kerja keras segilintir orang di timnas Indonesia.

‘Mendadak suka sepakbola’ pun menjamur dimana-mana. Dalam semalam semua orang tampak begitu fasih berbicara sepakbola. Dan demam sepakbola pun menginfeksi penjuru negeri. Tercampur aduklah semangat nasionalisme dan semangat olahraga. Dalam taraf yang mohon maaf beribu maaf, bagi saya sudah tidak sehat lagi.

Ada titik dimana nasionalisme tidak bisa bercampur dengan semangat olahraga. Dalam semangat nasionalisme, bangsa kita adalah harus nomor satu. Sementara pada olahraga [yang dipertandingkan], ada pihak yang menang dan ada yang kalah. Kita bisa dan boleh kalah dalam sebuah pertandingan. Ketika rasa nasionalisme tidak sehat sudah mulai menginjeksi, maka keharusan menang adalah tuntutannya. Sesuatu yang seharusnya pantang dalam pertandingan olahraga. Sebuah keharusan menang akan membawa kepada semangat-semangat tidak sportif dan penghalalan segala cara. Dan pada saat seperti inilah semangat olahraga dalam sebuah even internasional yang biasanya selalu didengungkan untuk menjalin persaudaraan dan persahabatan antar wilayah justru akan berbalik menjadi pemecah dan penyulut konflik. Sport for peace sudah kehilangan makna.

Dan para penggila bola dadakan itu menggunakan embel-embel nasionalisme untuk mendukung timnas Indonesia. Sebuah dukungan yang saya rasakan berubah menjadi tekanan bagi para pemain timnas sendiri. Bayangkan di pundak mereka secara sepihak kita bebankan harga diri dan martabat bangsa. Sebelas orang di dalam lapangan dengan tugas seberat itu saya sangsikan akan mampu bertanding dengan lugas dan lepas.

Namun euforia nasionalisme ini bukan tanpa alasan. Rasa haus, lapar, dan dahaga yang amat sangat akan prestasi bangsa, dalam segala bidang, membuat logika tak mampu lagi bicara. Dan kini hadir di hadapan kita, sasaran empuknya. Kok ya pas ada Piala AFF 2010. Kok ya pas timnas sedang bagus-bagusnya. Terjadilah seperti percikan api. Semua kehausan memohon untuk dipuaskan oleh sepercik air kemenangan demi kemenangan timnas Indonesia di ajang sepabkbola level Asia Tenggara itu.

Itu baru satu sisi masalah. Karena seperti perkataan Anton Sanjoyo, wartawan olahraga harian KOMPAS, dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun TV swasta, fenomena ini sudah cenderung menjadi memuakkan. Ketika sebuah even olahraga sudah tercemari oleh semangat komersialisasi, politisasi, dan hanya menjadi komoditas. Ketika para pemain sepakbola itu terpecah konsentrasinya karena telah menjadi selebritis dadakan. Ya, dengan segala hormat dan beribu maaf saya akui memang memuakkan. Lebih memuakkan lagi ketika semangat nasionalisme dan rasa haus para suporter timnas Indonesia itu digunakan dan dimanipulasi untuk pembenaran kenaikan harga tiket. Belum lagi melihat kekacauan penanganan pelayanan pembelian tiket yang seharusnya tidak terjadi apabila dilaksanakan secara jujur dan tidak ada permainan ‘orang dalam’ dalam pendistribusiannya. Wajar kan saya menuduh seperti ini, karena alternatif lainnya selain ini adalah berarti penyelenggara [PSSI] adalah kumpulan orang-orang goblok dan tak becus. Sungguh saya prihatin.

Dan, 26 Desember 2010, malam hari adalah saatnya. Mata kita harus terbuka. Bahwa mental juara dan tradisi sepakbola tidak dapat dimunculkan dalam 1 atau 2 hari atau dalam beberapa minggu saja. Tidak dapat dipoles dengan seribu satu pemain naturalisasi sekalipun. Jangan disamakan dengan dunia selebriti yang mampu mencetak bintang serba instan semacam Shinta dan Jojo. Inilah akibatnya jika hidup dalam dunia dengan generasi yang terdidik dalam situasi ‘serba instan’. Maunya langsung jadi. Dan penghormatan kepada proses hilanglah sudah. Mengerubungnya fans ketika sebuah komoditi [prestasi dadakan timnas] melejit merupakan gejalanya. Entah nanti ketika timnas ternyata kembali melempem. Beginilah wajah-wajah generasi komersial nan oportunis. Hanya mau mendekat saat situasi serba menguntungkan. Dan perilaku ‘gege mangsa’ pun bertebaran. Belum juara [ASEAN] sudah bersikap seakan juara dunia. Belum juara sudah berpesta.

Pertandingan final Piala AFF 2010 LEG I, Malaysia 3-Indonesia 0. Kecurangan suporter lawan hanyalah sebuah alasan dan pembenaran kekalahan. Mungkin banyak dari kita yang baru sadar inilah wajah sebuah pertandingan sepakbola. Ada menang ada kalah. Apapun penyebabnya, skor telah tertera. Apabila kita kalah apakah harga diri bangsa jatuh? Tidak. It’s just a game. Yang nomor satu adalah sportivitas. Harga diri kita justru terletak pada kemampuan kita menyikapi sebuah kekalahan, menyikapi sikap tak sportif lawan.

Ada terselip kekuatiran pada diri saya menanti 29 Desember 2010 nanti. Bukan, saya tidak kuatir Indonesia kalah. Karena dalam sebuah pertandingan sepakbola, menang kalah itu biasa. Saya mengkuatirkan kemampuan para suporter untuk menerima apabila kita kalah nantinya. Karena sekali lagi dalam sebuah pertandingan sepakbola, kalah itu mungkin. Brasil, Spanyol, Inggris, Real Madrid, Manchester United pun pernah kalah. Namun, saya tidak bisa menyalahkan sepenuhnya para suporter jika tidak mampu menahan diri. Kelelahan lahir batin karena segala himpitan emosi yang mendera sebelum pertandingan adalah salah satu aspek pemicu secara psikologis. Hal itulah yang membuat saya cukup ketir-ketir. Semoga suporter kita mampu menjadi dewasa. Pesan saya kepada para suporter adalah : Nikmati saja pertandingannya, nikmati kebersamaan bersama saudara sebangsa dalam satu suara dukungan pada timnas Indonesia. Just Enjoy The Game, Just Have Fun. Jangan bebankan nama baik bangsa hanya pada sebelas orang yang bermain di lapangan hijau. It’s not fair. Jangan haruskan mereka menang, karena ini baru awal kebangkitan. Jalan masih panjang. Kita harapkan Indonesia mampu menjadi juara sejati nantinya, apapun hasil Piala AFF 2010 ini. Dan untuk menjadi juara sejati butuh sebuah proses. Bagi kita warga Negara Indonesia, perlu kita ingat nasionalisme sejati justru ketika kita tetap mencintai dalam keadaan sulit dan buruk.

Pertanyaan terbesar adalah : apa yang kita cintai; ‘kemenangan’ atau ‘sepakbola’? Jika jawaban anda adalah kemenangan, maka anda datang ke lapangan yang salah.

Charlie Brown’s Christmas

[pict. source : http://www.wikipedia.org]

 

Seorang bocah, Charlie Brown namanya, sungguh sangat gundah. Natal telah dekat. Taburan salju dan cuaca dingin, menjadi pendongkrak keriuhan suasana Natal di kanan kirinya. Namun Charlie Brown masih gundah. Ada gugatan terselip dan tersembunyi di hatinya. Mengapa aku tak merasakan apapun ? Salju, kartu, dekorasi, dan lampu-lampu terang benderang tidak mampu memberikan sentuhan Natalnya hingga ke hati Charlie. Apa arti Natal ? Pertanyaan ini mengusik Charlie.Charlie Brown pun menjelajahi sekitar rumahnya, bertanya kepada teman-temannya. Dan Charlie Brown tidak menemukan jawabnya. Justru gugatannya terhadap perayaan Natal semakin menguat. Sebuah Komersialisasi. Itulah yang dia simpulkan. Terlebih ketika semua temannya mengejek Charlie saat Charlie mencoba menghidupi semangat Natalnya yang sederhana dengan mencoba membuat pohon natal dari sebuah pohon cemara yang begitu sederhana dan mungil : pohon cemara kecil kurus kering. Semakin yakinlah Charlie bahwa perayaan Natal telah terbungkus rapat oleh semangat komersialisasi. Namun Charlie Brown sungguh beruntung. Pertanyaan ‘Apa arti Natal’ nya justru terjawab dari seorang teman yang lugu, Linus namanya, yang mengucapkan untaian kalimat : “Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka : “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa : hari ini telah lahir bagimu juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu : Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan. Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya : kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya.” Jawaban yang sangat lugu dari Linus, karena ketika ditanya ‘apa arti Natal’ bocah ini hanyalah mengulang kisah kelahiran Yesus Kristus, dari Injil Lukas, yang pasti diceritakan berulang-ulang terutama pada perayaan Natal. Tapi rupanya jawaban lugu ini mampu menjawab gundah Charlie. Dibawanya pohon cemara kecil kurus keringnya, dengan keyakinan pohon itu mampu menjadi ‘pohon terang’ untuk Natalnya kali ini. Dia yakin pohon yang menjadi bahan ejekan teman-temannya [yang terlalu sibuk memoles Natal hingga wajah aslinya terlupakan], akan menjadi pohon Natal yang terindah. Di akhir kisah, ternyata ucapan Linus si lugu juga menyentuh hati teman-teman Charlie Brown. Berbondong-bondong mereka menyusul Charlie untuk ikut memberikan dukungan pada si gundah hati itu. Mereka akhirnya pun menyadari keindahan si ’pohon kecil kurus kering’ yang menjadi simbol semangat Natal non komersialisasi.

Kisah itu adalah sebuah film kartun : A Charlie Brown Christmas. Disiarkan oleh CBS, tanggal 9 Desember 1965. Mungkin banyak dari kita yang tidak begitu tahu siapa Charlie Brown. Untuk sedikit petunjuk : Jika kita ingat karakter kartun Snoopy, maka kita tentu ingat anak lelaki yang sering tampil bersamanya. Sering digambar di sampingnya. Ya, itulah si bocah Charlie brown, majikan Snoopy yang kalah tenar dibandingkan peliharaannya sendiri. Namun Charlie Brown pun punya serial TV sendiri ternyata. A Charlie Brown Christmas adalah debut pertamanya sebagai tokoh serial kartun di layar perak.

A Charlie Brown Christmas, film kartun anak-anak yang unik. Charlie Brown digambarkan sebagai anak yang kritis, dan cenderung sinis dalam menghadapi dunia sekitarnya. Mungkin karakter seperti ini lebih cocok dihadapkan pada audiens dewasa. Alur cerita pun mengalir dengan bumbu komedi berbumbu satir di sana sini. Charlie Brown adalah wakil penyindir kondisi sekitarnya.

Namun sungguh, film kartun tahun 1965 ini ternyata punya pesan moral yang masih relevan bahkan 45 tahun setelahnya. Peristiwa kelahiran Kristus yang menjadi batu monumen perayaan Natal telah kehilangan esensinya. Dan perayaan Natal kini hanya merupakan sebuah industri. Sebuah Komersialisasi, seperti gugatan Charlie Brown. Kini semua orang perlu dekorasi untuk membawa Natal ke dalam hati.

Mungkin kita semua perlu mencari ‘pohon cemara kecil kurus kering’ untuk lambang Natal kita kali ini. Seperti Charlie Brown yang mampu menangkap makna semangat kesederhanaan dari peristiwa yang begitu besar : kelahiran Kristus 2010 tahun lalu. Karena bahkan sang penyelamat berada dalam balutan kesederhanaan ketika hadir secara monumental di tengah umat manusia. Kelahiran Kristus, seperti kata Linus si lugu, adalah merupakan monumen untuk semangat kesederhanaan yang membawa kemuliaan. Kita tidak perlu mencari, karena pohon terang ilahi sudah hadir dalam diri kita, bagai bayi mungil di palungan yang hina. Lihatlah dalam diri, hapus semua polesan, Tuhan sudah beserta kita di dalam diri kita. Kita sudah dibebaskan, dimuliakan. Dan kini saatnya kita menyebarkan semangat pembebasan dan pemuliaan bagi jiwa-jiwa yang terbungkus oleh dunia yang komersial.

Selamat Natal, Charlie Brown. Selamat karena kau telah menemukan arti Natal sejati. Dan bayi mungil kemuliaan telah lahir kembali dalam dirimu.

Kini, apakah kita sudah layak menerima ucapan ‘Selamat Natal’ tahun ini ? Mampukah kita menangkap jiwa Kristus yang tahun ini lahir untuk ke 2010 kali?

Selamat Natal : semoga ucapan ini layak untukmu, untukku, untuk kita semua.

[pict.source : spoonsucker.blogspot.com]

DICTUM [Kami Berkata dari Sidang Rakyat Yogyakarta]


Ijinkan aku bercerita kepadamu kawan.

Tentang sebuah negeri tak jauh dari tempatmu berdiri.

Negeri dengan budaya dan tradisi yang telah lama terpatri.

Negeri yang telah selesai menempatkan sang jati diri.

Ijinkan aku mengingatkanmu kawan.

Bahwa negeri ini telah ada sebelum negerimu,

semangat kamilah yang meniup bara untuk api penggerak negerimu,

keikhlasan kamilah yang rela menjadi pupuk tumbuh suburnya negerimu,

kamilah ibu yang menyusuimu kala kau bahkan belum sanggup berdiri sendiri,

uluran tangan kamilah yang menuntunmu menuju langkah-langkah pertamamu.

Kami tak menuntut kau sebut kami yang terhebat,

Kami tak minta kau bayar seluruh hutang budi,

Karena jiwa kami adalah jiwa seorang ibu,

Kami hanya tahu mengasihi,

namun kami juga bisa sakit hati, kawan.

Negeri ini, tempat manunggaling kawula gusti.

Maka jangan heran betapa kami tidak menakar hubungan kawula dan gusti dengan harta duniawi.

Interaksi kami bukan proses jual beli.

Seperti inilah kami selalu dididik dan diajari.

Betapa syukur kami punya pemimpin yang hamengku dan hamengkoni, memangku kami, kawulanya.

Pemimpin kami TIDAK menduduki tahta, kawan. Karena di negeri ini tahta adalah untuk rakyat.

Maka jangan kau herani, tatkala kami serentak membela pemimpin kami, karena ketahuilah kawan, sebenar-benarnya kamilah yang terlebih dahulu dibela. Kami yang ’hanya’ kawula ini. Kami ini punya harga diri, kawan.

Mungkin ini yang tak kau mengerti kawan.

Karena nalarmu telah tersumpal, otakmu menjadi bebal, tersaput oleh ambisimu sendiri. Ambisi yang nyaris menjadi sebuah obsesi. Oleh kepentingan kotor yang terbungkus manis dalam sebuah misi ’menegakkan demokrasi’. Oh, betapa seakan sungguh indah label itu kawan. Namun di tengah kecongkakanmu berdiri disana, betapa kau lupa banyak hal kawan. Kau lupa jati dirimu, jati diri negerimu. Hatimu pun seakan kebas, tak mampu merasa. Matamu pun buta, telingamu tuli. Tak kau dengar jeritan kami, tak kau lihat keinginan kami. Dan siapa sekarang yang sebenarnya monarki kawan? Kala kau berdiri disana, bagai seorang raja, bagai seorang kaisar, dengan kata yang tampaknya tak terbantahkan.

Kami disini, di negeri tentram damai ini,

kami menolak cara yang kau titahkan, yang hendak kau injeksi paksa ke dalam tatanan kami.

Kami menolak konsep demokrasi yang kau tawarkan. Karena kawan, orang buta pun tahu, semanis apapun mulutmu bicara, demokrasi uanglah yang akan terterapkan. Kau ini lupa kawan, bahkan bukan cara itu yang dipakai oleh negerimu untuk menerapkan sebuah demokrasi. Jadi kini, bercerminlah kawan, siapa sebenarnya sang pengkhianat konstitusi?  Inilah kawan akibat demokrasi komersial yang kau terapkan, yang dahulu mendongkrakmu naik ke tahta yang kau duduki sekarang, kau merasa kau sudah membeli suara rakyatmu, jadi kau berhak berbuat semaumu. Betapa kejamnya kini sebaliknya : kau berikan cap bahwa kami ini pelanggar konstitusi, dan anti demokrasi.

Ijinkan kami mengambil sikap kawan.

Dengan kesantunan dan kebersatuan, yang mungkin asing kau temui.

Kami telah menentukan sikap kami.

Tidak, kami tidak memohon kawan. Kami berkata kepadamu. Karena seperti sejak sediakala, kami tidak pernah meminta darimu, dari negerimu. Kamilah yang pernah memberimu. Maka kami kini berdiri bersama, bersatu, bulat, mufakat, manunggaling kawula gusti. Inilah bagi kami maknaning demokrasi. Ijinkan kami berkata kepadamu.

Disini, dari sidang rakyat.

Ini bukan sekedar kisah, kawan.

Sebaiknya kau renungkan sebelum tidur malammu, kau insyafkan dalam istighfarmu.

Karena ini bukan sekedar kisah.

Kami bukan sekedar kisah. Kami yang berdiri disini saat ini.